“ Gerak peneduh “
“Hari
ini adalah hari yang melelahkan bagiku, entah kenapa aku sedih menjalaninya
walau kami bersama-sama tapi serasa sendiri. Sungguh tak pernah terbayangkan
sebelumnnya aku berada ditengah kegelisahan. Aku sakit dan sekarang aku merasa
sedih. Sedih karna keadaan.

Dari
bangun tidur serasa tak semangat, aku tersenyum sepanjang hari tapi senyumku
ini menyimpan luka yang sangat dalam, ya Allah bolehkah aku mengeluh seperti
ini? Disatu sisi aku selalu ingin semangat tapi disisi lainnya tidak
mendukungku untuk hal itu. Mengapa ini terjadi padaku,…..mengapa aku sangat
tidak bersyukur atas apa yang telah engkau berikan kepadaku, seharusnya jika
aku sakit itu adalah pertanda bahwa engkau sangat menyayangiku, dan masalah
yang datang itu sebagai simbol bahwa engkau menganggapku seorang wanita yang
tangguh” Delisa meneteskan airmata untuk kesekian kalinya, dia seperti
menyadari kesalahannya tapi juga menyesal tidak bisa merubah keadaanya saat
ini, cita-citanya sangat tinggi, dia ingin meruntuhkan kerasnya hati
orang-orang sombong yang sering mengejeknya. Delisa hanya anak seorang petani
yang penghasilannya tidak tetap, sering sekali teman-temannya mengucilkannnya
diluar sana dan karna itu juga dia sering sedih. tapi untungnya Delisa adalah
seorang anak yang sangat tangguh dan selalu bersyukur dalam menghadapi situasi
apapun, terkecuali hari ini ia selalu mengeluh dan mengeluh. Hari ini adalah
hari sabtu dimana hari ini sebagai penutup segala aktivitas sekolah, diapun
bergegas pulang kerumah.

Assalamualaikum,….
Walaikumsalam,
sudah pulang nak!
Sudah
bu,….. tadi uang sakuku tinggal tiga
ribu bu, padahal ongkos mobil kerumah kan lima ribu, tapi mau gimana lagi ini
juga karna dapet uang pinjaman dari temen Delisa bu, gag tau harus gimana, kalo Delisa gag pulang gimana belanja
minggu ini, Delisa pusing bu, kebutuhan minggu ini sangat banyak bu, darimana
Delisa bawa uang untuk mencukupi semua, gag ada pekerjaan yang bisa Delisa
lakuin untuk menghasilkan uang,…Delisa menangis lagi,…” tapi dia lapar sekarang
iapun pergi kedapur, Ayah dan adiknya sudah menunggu disana, mereka sudah makan
dan menikmati hidangan yang ada, tapi kini berbeda, dia hanya memandangi
makanan itu bahkan tidak sedikitpun menyentuhnya. Hidangan malam itu
adalah ikan bandeng sayur kesukaan Ayah, tapi Delisa tidak suka itu, dia egois
sekarang,…..” diapun bergegas dengan cepat dan masuk kedalam kamar.
Kenapa
dia hari ini, ada yang beda dengan dia, dia bukan yang dulu yang selalu patuh
terhadap kedua orang tuanya, masalahnya hari ini diluar sana dibawa pulang
kerumah, ibu yang sangat ingin menghidangkan segelas tehpun ditolaknya
mentah-mentah, betapa sedihnya raut wajah ibu saat itu, tapi ibupun memahami
kalau Delisa sedang sedih saat ini, dibawanya kembali teh tersebut kedapur, dan
ibu kembali menawarkan Delisa untuk membuat bubur, “nak coba buatkan bubur, ini
ada kelapa dibawa dari tetangga tadi, Delisa gag mau ibu, dia membentak,………”
ibupun bertanya, ya sudah nak, sekarang apa maumu, makan tidak mau, dikasi teh
juga gag mau, jawab ibu nak,…….Delisa hanya terdiam dan tidak mempedulikan
omongan ibunya itu,…
Malam
itu adik bungsu Delisa sedang tidak dirumah, entah dimana keberadaannya, karna
sejak magrib tidak kembali kerumah, Ayahpun bertanya, Dimana Adikmu Delisa?
kenapa tidak ada yang mencarinya, “ mana saya tau Ayah, saya juga baru tiba
dirumah, seharusnya kan Kenta yang tau, dia seharian disini” tapikan setidaknya
ada usaha kalian sebagai kakak-kakaknya yang mencarinya, tapi Ayah lihat tidak
ada, kakak macam apa kalian, mendengar jawaban Ayahnya, Delisapun menjawab “
ini salah Ayah, kenapa kalau adik pulang hampir magrib kerumah Ayah tidak
memarahi atau melarangnya, sekarang dia sudah tidak pulang malah kami yang
disalahkan, bukan tidak pernah kami larang , tapi bagi saya dia adalah anak
yang cukup bandel yang tidak pernah mau mendengarkan kata-kata kami sebagai
kakak-kakaknya, kalo sudah begitu seharusnya Ayah yang melarangnya,”Delisa
mulai naik pitam dan tidak mempedulikan sama siapa dia berbicara, dia kembali
membentak jawaban Ayahnya,…” diapun berlalu dan masuk kekamarnya, sampai disana
ia menangis tersedu-sedu karna menyesal dengan perkataan yang keluar dari
mulutnya,…” fikirannya sedang tidak enak sekarang, dia sedang emosi dan hampir
tidak terkendali.
Diluar
kamar, Ayah dan ibu sedang mempertanyakan ada apa dengan Delisa,…dan terdengar
sedikit suara pertengkaran diluar, “ tidak ada yang baik bu, Ayah kira Delisa
adalah anak yang bisa dibanggakan karena tingkahnya, tapi sekarang malah
membuat Ayah bingung menilainya. “Tadi ketika ia baru sampai kerumah dia bilang
kalau tadi uang jajannya tinggal tiga ribu yah, dan itu tidak cukup untuk
ongkos dia pulang ”jawab ibu, tapi itukan bisa dibicarakan sama-sama, mengapa
harus seperti itu, dia sudah mulai dewasa seharusnya hal kecil seperti itu
jangan dibesar-besarkan,….mungkin dia kepikiran karna pengeluaran untuk minggu
depan sangat besar sedangkan Ayah sedang tidak punya uang sama sekali, dia tau
bahwa kopi kita dikebun belum bisa dipanen, darimana dia bisa dapet itu,….selama
Ayah masih sehat Ayah akan berusaha mencari uang untuknya, tapi sekarang dia
sudah keterlaluan bu,…” ibu terdiam dan tidak bisa lagi menjawab ucapan Ayah,
sedangkan Delisa sudah tertidur pulas tanpa mendirikan shalat isya terlebih
dahulu.
Hari
ini cahaya mulai ingin berperan kembali, pagi yang mendung dan hujan
rintik-rintik membasahi halaman Rumah Delisa. Ia terbangun saat ibunya sudah
menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Suasana sudah kembali seperti biasa, ibu
tidak lagi mempermasalahkan kejadian yang semalam, ibupun menyambutnya dengan
secangkir Teh hangat, “ selamat pagi Tuan putri!,..Delisa tersenyum mendengar
sambutan ibu, iapun menerima secangkir Teh buatan ibu, dan kembali membicarakan
aktivitas yang akan dilakukan hari ini. “Hari ini hendak kemana bu? “tanya
Delisa”. Kita kekebun ya nak, mungkin ada yang bisa dipetik dan kita jual
nantinya. Delisa mengangguk.
Tok,
tok, tok,…tok, tok, tok,…ibu, ibu,…Delisa mendengar teriakan itu dari balik
pintu, tapi ia membiarkannya, akhirnya ibu yang membukakan pintu. Anak
bungsunya sudah pulang pikirku, tidak kumarahi dia, hanya mataku seperti tak
senang melihat kedatangannya. Pergi makan Nayla? Iya bu, jawab Nayla si putri
bungsu itu. Iapun bergegas kedapur tanpa menghiraukan Delisa. Mereka memang
jarang Akur, karena Nayla tidak pernah mendengarkan perkataan Delisa, ia hanya
berbicara saat penting saja itupun terpaksa. Delisa hanya menasehati Ayah dan
ibu saat Nayla sudah kelewat batas dalam sikapnya, ia tidak pernah langsung
memarahi Nayla, karna ia jarang sekali pulang, Rumah dan sekolahnya lumayan
jauh, jadi untuk menjangkaunya ia harus menetap di Kota, dan untuk pergi ia
harus menaiki Angkutan bus umum. Nayla adalah seorang anak perempuan yang
mempunyai watak yang sangat keras, setiap kali ia menyambut pembicaraan, Nayla
kerap kali menyakiti perasaan Delisa. Delisa lemah dalam keluarganya. sekali-kali ia hanya dapat marah ketika Nayla
tidak dirumah.
Sepertinya
hujan sudah mulai reda, ia dan ibu bergegas pergi kekebun, hanya Nayla dan
Kenta yang tinggal dirumah, Ayah mencari pekerjaan lain diluar, supaya
kebutuhan kami dapat tercukupi. Delisa sejak pagi tidak melihat Ayah dirumah,
kemana Ayah, bu?,…”Ayahmu sejak pagi pergi mencari kerja diluar, ia takut kita
tidak mendapat uang dari kebun, makanya Ayah pergi cepat supaya lowongan kerja
banyak ”,…menetes airmata Delisa saat mendengar ucapan ibunya,…maafkan Delisa
bu, Delisa selalu menyusahkan Ayah dan ibu, Delisa janji akan membahagiakan
kalian. Ibu memeluknya erat-erat, sabar nak,…tidak selamanya kita seperti ini,
Allah maha pengasih nak, makanya kamu jangan pernah meninggalkan shalat ya!,
iya bu “ jawab Delisa”
Tetesan
embun daun kopi sudah mulai jatuh ketanah, mentari sudah mulai naik
sepenggalahan, mereka baru saja sampai dikebun, Delisa memperhatikan keadaan sekitar
kebun tersebut dan terpikir dibenaknya , apa yang mereka kerjakan disini, kopi
belum bisa dipanen hanya sekumpulan sayur bayam yang ada, itupun tidak banyak.
Tapi tidak apalah walau sedikit yang penting bisa diambil hasilnya. Ia mulai
memetik sayurnya, dan tidak begitu lama timbanya sudah dipenuhi dengan sayur
tersebut, iapun mengganti timba yang lainnya. Ketika sayur itu habis dipetik
barulah ia bawa kesebuah gubuk yang ada dikebun. Satu persatu sayur itu diikat
seperti ikatan sapu lidi,….yupsss, dapet dua belas ikat sayur. Ayo bu kita
pulang, sayur ini siap untuk dijajakan kepada tetangga-tetangga kita disana,
merekapun bergegas pulang dengan membawa sayur hasil petikan mereka.
Sayur,….sayur,…sayur,..teriak
ibu,….” Hari menunjukkan pukul dua belas, seharusya banyak yang mau membeli
sayur kita,..merekapun terus berjalan dan sampai kepada rumah seorang Dokter
disebuah perkampungan. “
sayur
Bayam ya bu! “tanya istri seorang Dokter tersebut”
iya
bu,…..
berapa
satu ikat bu?
Seribu
rupiah saja bu,..
Semua
ada berapa ikat bu?
Dua
belas ikat,…
Saya
ambil semua ya bu, tapi sepuluh ribu boleh bu,..
Ibu
mengangguk, ini sayurnya bu, Terima
kasih ya,…
Sama-sama,
merekapun berlalu dan segera kembali kerumah. Alhamdulillah nak, dapet sepuluh
ribu. kita bisa beli beras tiga kilo nak. didepan ada jual beras murah, Delisa
hanya tersenyum melihat ibunya. Tapi sekarang harapannya tertuju pada
penghasilan Ayahnya, hari sudah siang, Ayah belum juga tiba dirumah, padahal
dia tidak membawa bekal hari ini. Kemana Ayah ya?,…apa dia sudah makan
sekarang, kasian Ayah,…Delisa terus menunggu kepulangan Ayahnya. Dan diapun
kedapur untuk menyiapkan menu makan siang. Kenta baru saja pulang bermain
diluar, Ibu, Kenta lapar bu,…ya sudah makan saja duluan “ jawab Delisa”,…memangnya
sudah masak kak!,…sudah,…baru saja selesai,…Nayla dimana? Enggak tau kak, dia
juga sejak pagi tidak dirumah. Owh, ya sudah makan saja duluan nanti kakak dan
ibu menyusul, iya kak “ jawab Kenta”.
Kehidupan
memang tidak selalu seperti yang dibayangkan tapi jika yang dipikirkan adalah
kebaikan maka hasilnyapun akan baik. Semua sudah ada yang atur manusia hanya
menjalankan saja aturan yang sudah ada, jika berbicara masalah cara, barulah
manusia itu sendiri yang harus berusaha. Betapa indahnya kehidupan jika dijalani
dengan penuh rasa syukur. Terkadang ada manusia yang lelah dengan cobaan, ada
juga yang menanti cobaan itu tiba.
Semua
berbeda-beda tanggapan, hanya ilmulah yang berkuasa, jika manusia cukup ilmu
untuk memahami hidup maka beruntunglah dia, tapi sebaliknya orang yang tidak
berilmu maka dia akan ikut-ikutan saja. Orang lain memasak barulah dia bergegas
memasak, orang lain membuat karya dia juga ikut mengerjakannya. Sungguh merugi
orang-orang yang seperti ini, padahal kita semua tau kalau jam dua belas sudah
waktunya memasak, dan barang bekas yang disamping rumah bisa dibuat karya tanpa
harus mengeluarkan biaya.
Delisa
hanyalah salah satu dari banyaknya manusia dimuka bumi ini yang belum bisa
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hari ini ia hanya menunggu kepulangan Ayah
tanpa berbuat sesuatu apapun yang bisa ia perbuat. “ Jangan sampai aku menangis
lagi karna ini, harapanku hanya pada Ayah,….karna memang kebutuhanku sangat
mendesak, tadi pagi aku pergi kekebun tapi yang kami dapat Cuma bisa beli tiga kilo
beras, apalah arti ini semua, aku sudah mencoba untuk tidak banyak menuntut dan
selalu bersabar agar Ayah dan ibuku tidak kecewa padaku. Adik bungsuku yang
jarang sekali mau membantu pekerjaan rumah membuat ibu selalu sibuk dibuatnya,
harus bagaimana lagi, semua usaha untuk berbicara padanya sudah dilakukan. Tapi
masih saja belum bisa, aku menyerah padanya. Ayah yang selalu pergi pagi dan
pulang sore hari membuat dia tidak ada yang kontrol, sifatnya semakin
menjadi-jadi, bahkan sering sekali ia menjebakku agar aku selalu marah padanya.
Padahal dia masih seorang siswi SD, tapi sifatnya melebihi orang dewasa”.
Delisa hanya merenungi keadaan keluarganya, sesekali ia melemparkan batu ke
sebuah parit yang ada didepan rumahnya.
Akhirnya
Nayla pulang juga, Ibu mana kak? Kenapa sejak pagi rumah sepi sekali, darimana
saja kamu Nayla, mengapa tidak dirumah, padahal kan kami berpesan agar kalian
disini.
Pergi
main kekampung sebelah.
Mengapa
harus kampung sebelah? Memangnya disini tidak ada kawan ya?
bukan
begitu kak, disini semua anak orang kaya, jadi mana mau berteman sama
aku,…..makanya lebih baik jauh daripada tidak punya teman sama sekali.
Jangan
sering seperti itu, nanti ibu khawatir denganmu, tadi pagi karna Ayah tidak
dirumah maka tidak tau harus pamit sama siapa,….santai saja kak,…aku baik-baik
saja. Ya sudah kak, aku mau makan, lapar ,….hari kan sudah mau sore tapi sejak
pagi tidak ada makan, sudah dulu ya ngobrolnya, nanti kita sambung. Iapun
berlalu dari hadapan Delisa.

Dari
kejauhan tampak seorang laki-laki paruh baya, Delisa terus saja berharap kalau
itu Ayahnya,….ia pandangi sampai lelaki tua itu tiba dihadapannya,…Ayah,…Ayah
darimana, kenapa tidak memberi tau kami kalau Ayah kerja diluar,…sudah
nak,..Ayah lapar belum makan, Ayah makan dulu ya. Nanti Ayah ceritakan semua.
Iya yah,…” penantiannya sudah berakhir, orang yang ditunggu sudah tiba dirumah.
Iapun pergi menghidangkan nasi untuk Ayah,…ibupun begitu yang sejak siang belum
makan karna menunggu Ayah pulang, akhirnya mereka makan bersama-sama. Dapat
kerja apa hari ini yah, tanya ibu, tadi pagi Ayah berjalan disekeliling kampung
sebelah, Ayah lihat ada orang yang sedang memperbaiki trotoar rumah, Ayah
tanyakan apakah Ayah bisa membantu pekerjaan itu, dengan berat hati ia
menyerahkan pekerjaan itu kepada Ayah, karna pikirnya ia juga masih sanggup
mengerjakan itu, tapi tampaknya ia tau bahwa Ayah butuh uang makanya ia mengizinkan
Ayah untuk bekerja dengannya. Ayah selesaikan dengan cepat, sampai-sampai lupa
kalau hari sudah sore,….tapi Alhamdulillah Ayah bisa menyelesaikan pekerjaan
itu dan hari ini Ayah mendapatkan uang. Tapi Delisa harus sabar dulu ya nak,
hari ini Ayah dapat rejeki “ seratus ribu rupiah”, separoh untuk belanja
sekolahmu dan separoh lagi untuk uang belanja dan jajan adik-adikmu, Delisa
mengangguk dan tidak tersa ia telah meneteskan airmatanya, dalam hatinya begitu
besar pengorbanan Ayah, sampai-sampai ia rela tidak makan siang, tapi ia rela,
walau dalam hati itu masih belum cukup . Tapi sudahlah, perjuangan Ayah hari
ini membuat semuanya menjadi cukup, biasanya juga dapat jajan seperti ini jadi
tidak boleh mengeluh lagi. kebutuhan yang
membuatku meminta uang lebih pada
orang tuaku, tapi sekarang harus banyak bersyukur. Harus belajar pada
kenyataan. Ayah yang begitu tangguh dalam bekerja, trotoar saja bisa dikerjakan
sehari, ibu juga dia sudah mendapatkan kepercayaan menjadi tukang sayur, jika
dikuti kebutuhan tidak akan pernah habis, karna sifat manusia itu tidak pernah
puas, selalu meminta yang baru saat kebutuhan yang lainnya sudah terpenuhi.
Huh, kuatkan hamba ya Allah,…ini adalah permainan dunia yang harus bisa untuk
dihindari.
Ya
sudah Delisa, jangan melamun saja, pergi berkemas-kemas, ambil beras dan sayur
untuk kebutuhanmu minggu ini,…mungkin masih ada mobil yang bisa kau tumpangi
kekota. Ibu akan menemanimu kepinggir jalan. Baik bu,….Iapun berkemas-kemas
untuk kembali menuntut ilmu kekota, tapi kali ini beda, adik-adiknya tidak ada
dirumah, padahal ia berharap Kenta dan Nayla juga bisa menemani kepulangannya.
Iapun mencium tangan Ayah dan ibu kemudian berpamitan pulang,..belajar yang
baik nak, jangan kecewakan Ayah dan ibumu disini, Ayah akan berusaha semampu
Ayah untuk mencukupi kebutuhan kita, kamu jangan pikirkan uang belanja yang
penting belajarlah dengan giat dan jangan sampai kamu ulangi sifatmu yang
semalam, itu sudah membuat Ayah dan ibu sangat cemas kepadamu,…inilah pesan
Ayah untuknya. Berharap ia bisa menuruti pesan Ayah, Semoga saja saya tidak
mengecewakan mereka. Baiklah Ayah Delisa berangkat yah, jaga Kenta dan Nayla baik-baik,
kalau bisa tidak usah beri izin untuk tidur dirumah tetangga, karna mereka
masih kecil yah, nanti takutnya mereka akan semakin tidak menghormati Ayah dan
ibu sebagai orang tua mereka dan Delisa minta maaf sama Ayah sama ibu karna
sikap Delisa kemarin “ iya nak, lain kali jangan ulangi lagi ya “,…dan kemudian
Ayah kembali kedalam rumah, sedangkan ibu akan mengantar Delisa kepinggir jalan
untuk menemukan tumpangan untuknya.
Ingat
pesan Ayahmu nak, kamu harus ingat perjuangan Ayah hari ini,…ok bu,..itu
mobilnya sudah datang, hati-hati dijalan nak ya,…iya bu,….Delisapun berlalu.
Inilah
perjuangan keluargaku untukku, Kenta dan Nayla harus bisa lebih baik dariku, akupun harus bisa lebih baik
dari Ayah dan ibuku, semoga saja aku bisa lebih sabar menghadapi semua cobaaan,
kalau lihat aku minggu ini aneh juga, mengapa bisa begini ya,…huh jadi takut
sendiri,…gara-gara aku ibuku jadi sakit hati, gara-gara aku Ayah jadi sangat
marah karna sikapku, tapi adik-adikku itu lho, bagaimana mereka nanti
ya?,….sepanjang jalan ia hanya menyesali sikapnya selama dirumah, tanpa bisa
mengerjakan sesuatu, menjengkelkan dan selalu mengeluh, padahal Ayah dan ibu
sudah sangat menyayangiku tapi balasanku begini,…maafkan Delisa Ayah,…ibu,….Delisa
janji tidak akan seperti itu lagi, ini yang pertama dan yang terakhir Delisa
bentak-bentak dan memarahi Ayah, ingatkan Delisa ya Allah.
*…………………………*

Hari
ini harus lebih baik dari kemarin, Delisa bersemangat berangkat kesekolah, ia
mengenakan seragam dengan rapi. Sepanjang jalan ia selalu tersenyum kepada
teman-temannya. Selamat pagi pak security, dia menyambut penjaga gerbang
sekolah dengan leluconya,…pagi Delisa, tumben wajahmu cerah,…ada apa ya? Aduh,
aduh, sesuatu telah terjadi padanya, tapi syukurlah,..ucapnya. sesampainya diruangan
Bendahara kelas sudah menantinya untuk membayar tagihan-tagihan yang belum
sempat ia bayar minggu lalu. Delisa sini kamu? Jangan menghindar lagi ya, sini
bayar uang kas, iya Din,..berapa Din, “ dua puluh lima ribu,…lho koq banyak
sekali,…kenapa? Enggak mampu bayar ya,…bukan begitu, tapi seingat aku tidak
segitu. Udah deh, kalo gag mampu bilang aja, makanya kalo gag sanggup sekolah
jangan sekolah. Ia aku bayar, ini uangnya ( menyerahkan uang lima puluh ribu
kepada Dinda ),..hmmmm, tumben ada uang gede, pasti mencuri ya? Ngaku aja deh,
enggak Din, kemarin Ayahku kerja seharian untuk mencari uang ini,…ow ow ow, iya
deh percaya,…nih kembaliannya,..makasie ya,…Delisa segera kembali kemejanya,
baginya ejekan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-harinya, tapi ia tetap
saja tersenyum karna harapan Ayah dan ibunya besar kepadanya, ia juga berharap
kalau sifatya yang minggu lalu tidak akan terulang lagi, ini karna perjuangan
Ayah untukku,…
Terima
kasih Ayah,
Terima
kasih ibu.
Karya: Diana seprika
Minggu, 11 november 2012