Selasa, 11 Juni 2013

Panggil aku istri Bang Roby

cerpen terhangat ala andespay.

“Panggil aku istri Bang Robby”

Gurauan manja seorang istri dunia maya, mengingatkan aku pada janji suamiku dulu. saat ia masih duduk manis bersamaku, menikmati paitnya adukan kopi yang diteguk bersama sekeping roti buatan istri tercinta. senyum manisnya menerangkan suasana, sapaan suara lembutnya selalu membuatku ingatkan kenangan saat bersama.
seorang lelaki yang tampan nan rupawan. dulu saat terdengar kata-kata perpisahan darinya, ia meminta izin pergi bekerja kenegeri seberang " federation of Malaysia". hatiku berat melepaskannya, selalu saja merasakan bahwa ia akan pergi untuk selamanya. iapun mencoba menjelaskan tujuannya pergi kenegeri seberang. "istriku sayang, abang hanya pergi sebentar saja, itupun karna tuntutan kerja tentunya untuk masa depan kita. abg janji akan selalu menghubungimu, jangan cemaskan abang ya??".
"tapi bang, siapa yang akan mengingatkan aku saat aku lalai, siapa yang melengkapi
hidupku".
"istriku sayang, engkau kuni"kahi karna engkau telah dewasa dan mampu mengingatkan diri sendiri dari segala kelalaianmu. abg percaya, engkau bisa istriku. do'akan aku pada setiap langkahku, beri semangat padaku dalam setiap kegiatanku serta beri kepercayaan akan hadirnya kesuksesan dalam hidup kita"
Mendengar untaian indah sang suami, Ratnapun merasa luluh dan memberi kepercayaan penuh pada suami tercinta. Dalam hatinya “suamiku benar” aku akan selalu dihatinya dan bisa merindukannya walau ia jauh dinegeri seberang. “iya” aku akan merelakannya hanya untuk sekejap saja”, itu pikirnya.
Seberangkas koper telah disiapkan. Beberapa pasang pakaian cukup untuk dua minggu berlalu untuknya. Tak lupa diletakkan sebuah bingkai foto pernikahan mereka, mungkin ini sebagai sarana pengobat rindu suaminya padanya. Ia tetap tersenyum walau hati kecilnya berat untuk merelakan keberangkatan suami tercintanya.
Sebuah sedan kecil berwarna merah telah siap mengantarkan suaminya kebandara, uluran tangan seorang istri kepada seorang suami dihiasi dengan rasa duka yang dalam, Ratna menangis saat suaminya memeluk untuk terahir kalinya. Masih belum ikhlas, tampaknya memang keduanya belum mau berpisah. Walau hanya untuk sekejap saja. lambaian tangan tanda perpisahan menjadi rangkaian akhir pertemuan tatap mata keduanya. “selamat jalan bang, semoga engkau berhasil”.
Besar harapan Ratna pada suaminya agar cepat kembali. Sekiranya pagi ia akan berharap kicauan  burung adalah sapaan indah dari suaminya. “mendengar suara itu, aku merasakan kehadiran suamiku disini, bahagia terasa bila bersama sahabat penyenang hatinya, walau hanya seekor burung, tapi kehadirannya sudah mewakilkannya”. Tak berani untuk berteduh ditempat lain selain ditempat duduk suamiku, tersenyum dan terus saja tersenyum. Suami tercintaku  dialah idaman hatiku.
“Tuhanku, jagalah dia disetiap langkahnya. Ingatkan dia jika ia mulai melupakanmu. Berikan kesejahteraan padanya, berilah kesehatan baik dalam pendengaran maupun penglihatannya” amin.
Handpone bordering, dan Ratnapun segera bergegas kekamar. Telpon itu dari suaminya.
“assalamualaikum”,
“walaikumsalam bang?”, gimana perjalanannya bang, semoga tidak ada hal yang membuatku cemas terjadi padamu, engkau baik-baik saja kan?”
Istriku, berkat do’amu abang sudah sampai dengan selamat. Tadinya abang risau karna belum pernah naik pesawat, tapi mana boleh terlihat kampungan didepan patner kerja abang. Diluar terlihat santai, duh… padahal jantung abang berdetak kencang. J . Abang kira sudah sampai diakhirat, pas pesawat sudah mendarat abang Tanya “malaikatnya mana?”, mereka semua menertawakan abang”. Ratna tertawa mendengar cerita suaminya itu, tapi yang terpenting baginya adalah keselamatan suaminya. “jangan lupa untuk menjaga kesehatan bang, minum vitamin sebelum berangkat kerja dan jangan lupa makan juga ya.
“tenang sayang, abang udah diberi kupon untuk makan, kalo lapar tinggal kasi kupon aja, dan makananpun akan segera tiba”. “syukurlah” jawab Ratna. Nanti hubungi lagi bang ya, sekarang  pergilah bergegas kerja, inikan jadwal kerjamu. “baiklah istriku. Assalamualaikum!”
“walaikumsalam suamiku”.
Setelah diberi kabar oleh suaminya, Ratna merasa lega. Kini iapun melanjutkan aktivitasnya.
“sayur, saaayuuur, sayur, sayuuur”
Dari luar rumah terdengar suara abang penjual sayur, Ratnapun bergegas untuk membelinya. “sayur bang” teriaknya.
“iya neng, mau beli sayur apa?, tumben sendiri neng, suaminya kemana ya?”
“ia ni, bang Roby lagi tugas kerja ke Malaysia selama dua minggu. Begitu bijaknya suamiku sehingga tukang sayurpun merasakan keberadaannya disekitar sini”.
“oh githu neng, ya sudah nanti kalo mas Roby telpon titip salam saya saja neng”, “iya bang” jawab Ratna.
Tukang sayurpun berlalu.
Tak ada yang menggandakan langkah kakiku, saat ini hanya satu iringan. Saat aku bekerja selalu saja ada sedikit komentar yang membuatku selalu semangat untuk melanjutkan segala aktivitasku. Sampai ia berangkat kerjapun tak lupa mengingatkanku lewat pesan singkatnya. Saat ia pulang kerja dengan semangat yang tinggi dan rasa bahagia yang luar biasa, aku membukakan pintu untuknya.


Dinegeri seberang, Roby mulai merasakan kehilangan, apa yang dirasakan Ratna maka iapun terbawa. Tapi dia adalah seorang suami yang bijaksana. Dia mengatur cara kerjanya sefisien mungkin. Ruang kamar ditatanya sendiri, ia ingin  kamarnya yang dimalaysia ditata persis seperti kamar tidurnya diindonesia. Meja berada tepat disamping tempat tidur, ia ingat diatas meja selalu dihiasi dengan panduan indah bunga mawar yang selalu memberikan aroma bahagia untuk mereka. Karna Roby dan Ratna sama-sama suka dengan bunga tersebut.
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Perutku terasa lapar, Roby segera naik kelantai delapan, tidak lupa ia membawa kupon miliknya. Ia hanya memesan nasi goreng dengan segelas air putih. “ini cukup” pikirku. Sembari menunggu makanan tiba, ia mengambil telpon genggamnya dan kemudian menghubungi istrinya.
“Assalamualaikum?”,..
“walaikumsalam?, udah makan bang?”
“Hmmmm, udah belum ya?, aduh dimalaysia gak ada rendang seenak buatanmu sayang, jadi males makan”, Roby menggoda istrinya.
“Beli saja rendang buatan uncle mutu bang?, rasanya pasti lebih enak, yang penting jangan gak makan ya?”.
“iya istriku, nasi goreng special sudah ada didepanku. Pagi ini banyak yang memesan roti untuk menu sarapannya, tapi karna abang ingat Ratna jadi pesannya nasi goreng”, hehe
“oya bang, cepat pulang ya?”, “hmmmm, baiklah istriku, jangan lupa makan juga ya, abang tutup dulu telponnya, untuk besok abang gak bisa janji bisa menghubungimu karna ada persentasi proyek, manager tidak mengijinkan kami untuk mengaktifkan Hp, love you honey” jelas Roby kembali dan iapun segera mengakhiri telponnya.
(to be continued..................)

Senin, 12 November 2012

gerak peneduh


“ Gerak peneduh “
“Hari ini adalah hari yang melelahkan bagiku, entah kenapa aku sedih menjalaninya walau kami bersama-sama tapi serasa sendiri. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnnya aku berada ditengah kegelisahan. Aku sakit dan sekarang aku merasa sedih. Sedih karna keadaan.

Dari bangun tidur serasa tak semangat, aku tersenyum sepanjang hari tapi senyumku ini menyimpan luka yang sangat dalam, ya Allah bolehkah aku mengeluh seperti ini? Disatu sisi aku selalu ingin semangat tapi disisi lainnya tidak mendukungku untuk hal itu. Mengapa ini terjadi padaku,…..mengapa aku sangat tidak bersyukur atas apa yang telah engkau berikan kepadaku, seharusnya jika aku sakit itu adalah pertanda bahwa engkau sangat menyayangiku, dan masalah yang datang itu sebagai simbol bahwa engkau menganggapku seorang wanita yang tangguh” Delisa meneteskan airmata untuk kesekian kalinya, dia seperti menyadari kesalahannya tapi juga menyesal tidak bisa merubah keadaanya saat ini, cita-citanya sangat tinggi, dia ingin meruntuhkan kerasnya hati orang-orang sombong yang sering mengejeknya. Delisa hanya anak seorang petani yang penghasilannya tidak tetap, sering sekali teman-temannya mengucilkannnya diluar sana dan karna itu juga dia sering sedih. tapi untungnya Delisa adalah seorang anak yang sangat tangguh dan selalu bersyukur dalam menghadapi situasi apapun, terkecuali hari ini ia selalu mengeluh dan mengeluh. Hari ini adalah hari sabtu dimana hari ini sebagai penutup segala aktivitas sekolah, diapun bergegas pulang kerumah.

Assalamualaikum,….
Walaikumsalam, sudah pulang nak!
Sudah bu,….. tadi  uang sakuku tinggal tiga ribu bu, padahal ongkos mobil kerumah kan lima ribu, tapi mau gimana lagi ini juga karna dapet uang pinjaman dari temen Delisa bu, gag tau harus  gimana, kalo Delisa gag pulang gimana belanja minggu ini, Delisa pusing bu, kebutuhan minggu ini sangat banyak bu, darimana Delisa bawa uang untuk mencukupi semua, gag ada pekerjaan yang bisa Delisa lakuin untuk menghasilkan uang,…Delisa menangis lagi,…” tapi dia lapar sekarang iapun pergi kedapur, Ayah dan adiknya sudah menunggu disana, mereka sudah makan dan menikmati hidangan yang ada, tapi kini berbeda, dia hanya memandangi makanan itu bahkan  tidak  sedikitpun menyentuhnya. Hidangan malam itu adalah ikan bandeng sayur kesukaan Ayah, tapi Delisa tidak suka itu, dia egois sekarang,…..” diapun bergegas dengan cepat dan masuk kedalam kamar.
Kenapa dia hari ini, ada yang beda dengan dia, dia bukan yang dulu yang selalu patuh terhadap kedua orang tuanya, masalahnya hari ini diluar sana dibawa pulang kerumah, ibu yang sangat ingin menghidangkan segelas tehpun ditolaknya mentah-mentah, betapa sedihnya raut wajah ibu saat itu, tapi ibupun memahami kalau Delisa sedang sedih saat ini, dibawanya kembali teh tersebut kedapur, dan ibu kembali menawarkan Delisa untuk membuat bubur, “nak coba buatkan bubur, ini ada kelapa dibawa dari tetangga tadi, Delisa gag mau ibu, dia membentak,………” ibupun bertanya, ya sudah nak, sekarang apa maumu, makan tidak mau, dikasi teh juga gag mau, jawab ibu nak,…….Delisa hanya terdiam dan tidak mempedulikan omongan ibunya itu,…

Malam itu adik bungsu Delisa sedang tidak dirumah, entah dimana keberadaannya, karna sejak magrib tidak kembali kerumah, Ayahpun bertanya, Dimana Adikmu Delisa? kenapa tidak ada yang mencarinya, “ mana saya tau Ayah, saya juga baru tiba dirumah, seharusnya kan Kenta yang tau, dia seharian disini” tapikan setidaknya ada usaha kalian sebagai kakak-kakaknya yang mencarinya, tapi Ayah lihat tidak ada, kakak macam apa kalian, mendengar jawaban Ayahnya, Delisapun menjawab “ ini salah Ayah, kenapa kalau adik pulang hampir magrib kerumah Ayah tidak memarahi atau melarangnya, sekarang dia sudah tidak pulang malah kami yang disalahkan, bukan tidak pernah kami larang , tapi bagi saya dia adalah anak yang cukup bandel yang tidak pernah mau mendengarkan kata-kata kami sebagai kakak-kakaknya, kalo sudah begitu seharusnya Ayah yang melarangnya,”Delisa mulai naik pitam dan tidak mempedulikan sama siapa dia berbicara, dia kembali membentak jawaban Ayahnya,…” diapun berlalu dan masuk kekamarnya, sampai disana ia menangis tersedu-sedu karna menyesal dengan perkataan yang keluar dari mulutnya,…” fikirannya sedang tidak enak sekarang, dia sedang emosi dan hampir tidak terkendali.
Diluar kamar, Ayah dan ibu sedang mempertanyakan ada apa dengan Delisa,…dan terdengar sedikit suara pertengkaran diluar, “ tidak ada yang baik bu, Ayah kira Delisa adalah anak yang bisa dibanggakan karena tingkahnya, tapi sekarang malah membuat Ayah bingung menilainya. “Tadi ketika ia baru sampai kerumah dia bilang kalau tadi uang jajannya tinggal tiga ribu yah, dan itu tidak cukup untuk ongkos dia pulang ”jawab ibu, tapi itukan bisa dibicarakan sama-sama, mengapa harus seperti itu, dia sudah mulai dewasa seharusnya hal kecil seperti itu jangan dibesar-besarkan,….mungkin dia kepikiran karna pengeluaran untuk minggu depan sangat besar sedangkan Ayah sedang tidak punya uang sama sekali, dia tau bahwa kopi kita dikebun belum bisa dipanen, darimana dia bisa dapet itu,….selama Ayah masih sehat Ayah akan berusaha mencari uang untuknya, tapi sekarang dia sudah keterlaluan bu,…” ibu terdiam dan tidak bisa lagi menjawab ucapan Ayah, sedangkan Delisa sudah tertidur pulas tanpa mendirikan shalat isya terlebih dahulu.
Hari ini cahaya mulai ingin berperan kembali, pagi yang mendung dan hujan rintik-rintik membasahi halaman Rumah Delisa. Ia terbangun saat ibunya sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Suasana sudah kembali seperti biasa, ibu tidak lagi mempermasalahkan kejadian yang semalam, ibupun menyambutnya dengan secangkir Teh hangat, “ selamat pagi Tuan putri!,..Delisa tersenyum mendengar sambutan ibu, iapun menerima secangkir Teh buatan ibu, dan kembali membicarakan aktivitas yang akan dilakukan hari ini. “Hari ini hendak kemana bu? “tanya Delisa”. Kita kekebun ya nak, mungkin ada yang bisa dipetik dan kita jual nantinya. Delisa mengangguk.
Tok, tok, tok,…tok, tok, tok,…ibu, ibu,…Delisa mendengar teriakan itu dari balik pintu, tapi ia membiarkannya, akhirnya ibu yang membukakan pintu. Anak bungsunya sudah pulang pikirku, tidak kumarahi dia, hanya mataku seperti tak senang melihat kedatangannya. Pergi makan Nayla? Iya bu, jawab Nayla si putri bungsu itu. Iapun bergegas kedapur tanpa menghiraukan Delisa. Mereka memang jarang Akur, karena Nayla tidak pernah mendengarkan perkataan Delisa, ia hanya berbicara saat penting saja itupun terpaksa. Delisa hanya menasehati Ayah dan ibu saat Nayla sudah kelewat batas dalam sikapnya, ia tidak pernah langsung memarahi Nayla, karna ia jarang sekali pulang, Rumah dan sekolahnya lumayan jauh, jadi untuk menjangkaunya ia harus menetap di Kota, dan untuk pergi ia harus menaiki Angkutan bus umum. Nayla adalah seorang anak perempuan yang mempunyai watak yang sangat keras, setiap kali ia menyambut pembicaraan, Nayla kerap kali menyakiti perasaan Delisa. Delisa lemah dalam keluarganya.  sekali-kali ia hanya dapat marah ketika Nayla tidak dirumah.
Sepertinya hujan sudah mulai reda, ia dan ibu bergegas pergi kekebun, hanya Nayla dan Kenta yang tinggal dirumah, Ayah mencari pekerjaan lain diluar, supaya kebutuhan kami dapat tercukupi. Delisa sejak pagi tidak melihat Ayah dirumah, kemana Ayah, bu?,…”Ayahmu sejak pagi pergi mencari kerja diluar, ia takut kita tidak mendapat uang dari kebun, makanya Ayah pergi cepat supaya lowongan kerja banyak ”,…menetes airmata Delisa saat mendengar ucapan ibunya,…maafkan Delisa bu, Delisa selalu menyusahkan Ayah dan ibu, Delisa janji akan membahagiakan kalian. Ibu memeluknya erat-erat, sabar nak,…tidak selamanya kita seperti ini, Allah maha pengasih nak, makanya kamu jangan pernah meninggalkan shalat ya!, iya bu “ jawab Delisa”
Tetesan embun daun kopi sudah mulai jatuh ketanah, mentari sudah mulai naik sepenggalahan, mereka baru saja sampai dikebun, Delisa memperhatikan keadaan sekitar kebun tersebut dan terpikir dibenaknya , apa yang mereka kerjakan disini, kopi belum bisa dipanen hanya sekumpulan sayur bayam yang ada, itupun tidak banyak. Tapi tidak apalah walau sedikit yang penting bisa diambil hasilnya. Ia mulai memetik sayurnya, dan tidak begitu lama timbanya sudah dipenuhi dengan sayur tersebut, iapun mengganti timba yang lainnya. Ketika sayur itu habis dipetik barulah ia bawa kesebuah gubuk yang ada dikebun. Satu persatu sayur itu diikat seperti ikatan sapu lidi,….yupsss, dapet dua belas ikat sayur. Ayo bu kita pulang, sayur ini siap untuk dijajakan kepada tetangga-tetangga kita disana, merekapun bergegas pulang dengan membawa sayur hasil petikan mereka.
Sayur,….sayur,…sayur,..teriak ibu,….” Hari menunjukkan pukul dua belas, seharusya banyak yang mau membeli sayur kita,..merekapun terus berjalan dan sampai kepada rumah seorang Dokter disebuah perkampungan. “

sayur Bayam ya bu! “tanya istri seorang Dokter tersebut”
iya bu,…..
berapa satu ikat bu?
Seribu rupiah saja bu,..
Semua ada berapa ikat bu?
Dua belas ikat,…
Saya ambil semua ya bu, tapi sepuluh ribu boleh bu,..
Ibu mengangguk, ini  sayurnya bu, Terima kasih ya,…
Sama-sama, merekapun berlalu dan segera kembali kerumah. Alhamdulillah nak, dapet sepuluh ribu. kita bisa beli beras tiga kilo nak. didepan ada jual beras murah, Delisa hanya tersenyum melihat ibunya. Tapi sekarang harapannya tertuju pada penghasilan Ayahnya, hari sudah siang, Ayah belum juga tiba dirumah, padahal dia tidak membawa bekal hari ini. Kemana Ayah ya?,…apa dia sudah makan sekarang, kasian Ayah,…Delisa terus menunggu kepulangan Ayahnya. Dan diapun kedapur untuk menyiapkan menu makan siang. Kenta baru saja pulang bermain diluar, Ibu, Kenta lapar bu,…ya sudah makan saja duluan “ jawab Delisa”,…memangnya sudah masak kak!,…sudah,…baru saja selesai,…Nayla dimana? Enggak tau kak, dia juga sejak pagi tidak dirumah. Owh, ya sudah makan saja duluan nanti kakak dan ibu menyusul, iya kak “ jawab Kenta”.
Kehidupan memang tidak selalu seperti yang dibayangkan tapi jika yang dipikirkan adalah kebaikan maka hasilnyapun akan baik. Semua sudah ada yang atur manusia hanya menjalankan saja aturan yang sudah ada, jika berbicara masalah cara, barulah manusia itu sendiri yang harus berusaha. Betapa indahnya kehidupan jika dijalani dengan penuh rasa syukur. Terkadang ada manusia yang lelah dengan cobaan, ada juga yang menanti cobaan itu tiba.
Semua berbeda-beda tanggapan, hanya ilmulah yang berkuasa, jika manusia cukup ilmu untuk memahami hidup maka beruntunglah dia, tapi sebaliknya orang yang tidak berilmu maka dia akan ikut-ikutan saja. Orang lain memasak barulah dia bergegas memasak, orang lain membuat karya dia juga ikut mengerjakannya. Sungguh merugi orang-orang yang seperti ini, padahal kita semua tau kalau jam dua belas sudah waktunya memasak, dan barang bekas yang disamping rumah bisa dibuat karya tanpa harus mengeluarkan biaya.
Delisa hanyalah salah satu dari banyaknya manusia dimuka bumi ini yang belum bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hari ini ia hanya menunggu kepulangan Ayah tanpa berbuat sesuatu apapun yang bisa ia perbuat. “ Jangan sampai aku menangis lagi karna ini, harapanku hanya pada Ayah,….karna memang kebutuhanku sangat mendesak, tadi pagi aku pergi kekebun tapi yang kami dapat Cuma bisa beli tiga kilo beras, apalah arti ini semua, aku sudah mencoba untuk tidak banyak menuntut dan selalu bersabar agar Ayah dan ibuku tidak kecewa padaku. Adik bungsuku yang jarang sekali mau membantu pekerjaan rumah membuat ibu selalu sibuk dibuatnya, harus bagaimana lagi, semua usaha untuk berbicara padanya sudah dilakukan. Tapi masih saja belum bisa, aku menyerah padanya. Ayah yang selalu pergi pagi dan pulang sore hari membuat dia tidak ada yang kontrol, sifatnya semakin menjadi-jadi, bahkan sering sekali ia menjebakku agar aku selalu marah padanya. Padahal dia masih seorang siswi SD, tapi sifatnya melebihi orang dewasa”. Delisa hanya merenungi keadaan keluarganya, sesekali ia melemparkan batu ke sebuah parit yang ada didepan rumahnya.


Akhirnya Nayla pulang juga, Ibu mana kak? Kenapa sejak pagi rumah sepi sekali, darimana saja kamu Nayla, mengapa tidak dirumah, padahal kan kami berpesan agar kalian disini.
Pergi main kekampung sebelah.
Mengapa harus kampung sebelah? Memangnya disini tidak ada kawan ya?
bukan begitu kak, disini semua anak orang kaya, jadi mana mau berteman sama aku,…..makanya lebih baik jauh daripada tidak punya teman sama sekali.
Jangan sering seperti itu, nanti ibu khawatir denganmu, tadi pagi karna Ayah tidak dirumah maka tidak tau harus pamit sama siapa,….santai saja kak,…aku baik-baik saja. Ya sudah kak, aku mau makan, lapar ,….hari kan sudah mau sore tapi sejak pagi tidak ada makan, sudah dulu ya ngobrolnya, nanti kita sambung. Iapun berlalu dari hadapan Delisa.

Dari kejauhan tampak seorang laki-laki paruh baya, Delisa terus saja berharap kalau itu Ayahnya,….ia pandangi sampai lelaki tua itu tiba dihadapannya,…Ayah,…Ayah darimana, kenapa tidak memberi tau kami kalau Ayah kerja diluar,…sudah nak,..Ayah lapar belum makan, Ayah makan dulu ya. Nanti Ayah ceritakan semua. Iya yah,…” penantiannya sudah berakhir, orang yang ditunggu sudah tiba dirumah. Iapun pergi menghidangkan nasi untuk Ayah,…ibupun begitu yang sejak siang belum makan karna menunggu Ayah pulang, akhirnya mereka makan bersama-sama. Dapat kerja apa hari ini yah, tanya ibu, tadi pagi Ayah berjalan disekeliling kampung sebelah, Ayah lihat ada orang yang sedang memperbaiki trotoar rumah, Ayah tanyakan apakah Ayah bisa membantu pekerjaan itu, dengan berat hati ia menyerahkan pekerjaan itu kepada Ayah, karna pikirnya ia juga masih sanggup mengerjakan itu, tapi tampaknya ia tau bahwa Ayah butuh uang makanya ia mengizinkan Ayah untuk bekerja dengannya. Ayah selesaikan dengan cepat, sampai-sampai lupa kalau hari sudah sore,….tapi Alhamdulillah Ayah bisa menyelesaikan pekerjaan itu dan hari ini Ayah mendapatkan uang. Tapi Delisa harus sabar dulu ya nak, hari ini Ayah dapat rejeki “ seratus ribu rupiah”, separoh untuk belanja sekolahmu dan separoh lagi untuk uang belanja dan jajan adik-adikmu, Delisa mengangguk dan tidak tersa ia telah meneteskan airmatanya, dalam hatinya begitu besar pengorbanan Ayah, sampai-sampai ia rela tidak makan siang, tapi ia rela, walau dalam hati itu masih belum cukup . Tapi sudahlah, perjuangan Ayah hari ini membuat semuanya menjadi cukup, biasanya juga dapat jajan seperti ini jadi tidak boleh mengeluh lagi. kebutuhan yang  membuatku  meminta uang lebih pada orang tuaku, tapi sekarang harus banyak bersyukur. Harus belajar pada kenyataan. Ayah yang begitu tangguh dalam bekerja, trotoar saja bisa dikerjakan sehari, ibu juga dia sudah mendapatkan kepercayaan menjadi tukang sayur, jika dikuti kebutuhan tidak akan pernah habis, karna sifat manusia itu tidak pernah puas, selalu meminta yang baru saat kebutuhan yang lainnya sudah terpenuhi. Huh, kuatkan hamba ya Allah,…ini adalah permainan dunia yang harus bisa untuk dihindari.

Ya sudah Delisa, jangan melamun saja, pergi berkemas-kemas, ambil beras dan sayur untuk kebutuhanmu minggu ini,…mungkin masih ada mobil yang bisa kau tumpangi kekota. Ibu akan menemanimu kepinggir jalan. Baik bu,….Iapun berkemas-kemas untuk kembali menuntut ilmu kekota, tapi kali ini beda, adik-adiknya tidak ada dirumah, padahal ia berharap Kenta dan Nayla juga bisa menemani kepulangannya. Iapun mencium tangan Ayah dan ibu kemudian berpamitan pulang,..belajar yang baik nak, jangan kecewakan Ayah dan ibumu disini, Ayah akan berusaha semampu Ayah untuk mencukupi kebutuhan kita, kamu jangan pikirkan uang belanja yang penting belajarlah dengan giat dan jangan sampai kamu ulangi sifatmu yang semalam, itu sudah membuat Ayah dan ibu sangat cemas kepadamu,…inilah pesan Ayah untuknya. Berharap ia bisa menuruti pesan Ayah, Semoga saja saya tidak mengecewakan mereka. Baiklah Ayah Delisa berangkat yah, jaga Kenta dan Nayla baik-baik, kalau bisa tidak usah beri izin untuk tidur dirumah tetangga, karna mereka masih kecil yah, nanti takutnya mereka akan semakin tidak menghormati Ayah dan ibu sebagai orang tua mereka dan Delisa minta maaf sama Ayah sama ibu karna sikap Delisa kemarin “ iya nak, lain kali jangan ulangi lagi ya “,…dan kemudian Ayah kembali kedalam rumah, sedangkan ibu akan mengantar Delisa kepinggir jalan untuk menemukan tumpangan untuknya.
Ingat pesan Ayahmu nak, kamu harus ingat perjuangan Ayah hari ini,…ok bu,..itu mobilnya sudah datang, hati-hati dijalan nak ya,…iya bu,….Delisapun berlalu.
Inilah perjuangan keluargaku untukku, Kenta dan Nayla harus bisa lebih  baik dariku, akupun harus bisa lebih baik dari Ayah dan ibuku, semoga saja aku bisa lebih sabar menghadapi semua cobaaan, kalau lihat aku minggu ini aneh juga, mengapa bisa begini ya,…huh jadi takut sendiri,…gara-gara aku ibuku jadi sakit hati, gara-gara aku Ayah jadi sangat marah karna sikapku, tapi adik-adikku itu lho, bagaimana mereka nanti ya?,….sepanjang jalan ia hanya menyesali sikapnya selama dirumah, tanpa bisa mengerjakan sesuatu, menjengkelkan dan selalu mengeluh, padahal Ayah dan ibu sudah sangat menyayangiku tapi balasanku begini,…maafkan Delisa Ayah,…ibu,….Delisa janji tidak akan seperti itu lagi, ini yang pertama dan yang terakhir Delisa bentak-bentak dan memarahi Ayah, ingatkan Delisa ya Allah.
*…………………………*



Hari ini harus lebih baik dari kemarin, Delisa bersemangat berangkat kesekolah, ia mengenakan seragam dengan rapi. Sepanjang jalan ia selalu tersenyum kepada teman-temannya. Selamat pagi pak security, dia menyambut penjaga gerbang sekolah dengan leluconya,…pagi Delisa, tumben wajahmu cerah,…ada apa ya? Aduh, aduh, sesuatu telah terjadi padanya, tapi syukurlah,..ucapnya. sesampainya diruangan Bendahara kelas sudah menantinya untuk membayar tagihan-tagihan yang belum sempat ia bayar minggu lalu. Delisa sini kamu? Jangan menghindar lagi ya, sini bayar uang kas, iya Din,..berapa Din, “ dua puluh lima ribu,…lho koq banyak sekali,…kenapa? Enggak mampu bayar ya,…bukan begitu, tapi seingat aku tidak segitu. Udah deh, kalo gag mampu bilang aja, makanya kalo gag sanggup sekolah jangan sekolah. Ia aku bayar, ini uangnya ( menyerahkan uang lima puluh ribu kepada Dinda ),..hmmmm, tumben ada uang gede, pasti mencuri ya? Ngaku aja deh, enggak Din, kemarin Ayahku kerja seharian untuk mencari uang ini,…ow ow ow, iya deh percaya,…nih kembaliannya,..makasie ya,…Delisa segera kembali kemejanya, baginya ejekan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-harinya, tapi ia tetap saja tersenyum karna harapan Ayah dan ibunya besar kepadanya, ia juga berharap kalau sifatya yang minggu lalu tidak akan terulang lagi, ini karna perjuangan Ayah untukku,…
Terima kasih Ayah,
Terima kasih ibu.
Karya: Diana seprika

Minggu, 11 november 2012